Chat dengan kami disini
Alex Purnadi Chandra telah menggeluti sektor perbankan selama 28 tahun. Saat usianya baru 29 tahun, dia dipromosikan menjadi Kepala Cabang BCA di Bali. Setahun kemudian, Alex memberanikan diri pindah kuadran menjadi pengusaha. Dia mengakuisisi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Seri Artha Lestari di Bali tahun 1999.
Kini, Alex telah membesarkan bank tersebut menjadi Grup Lestari yang membawahkan bisnis BPR Lestari (Bank Lestari) dan lembaga pendidikan AkuBank yang mencetak tenaga kerja sebagai akuntan dan bankir. Total aset dari seluruh (enam) cabang Bank Lestari mencapai Rp 7 triliun.
Sepanjang pengalaman di perbankan, saya melihat krisis ini tantangan terbesar. Saat krisis 1998, dampaknya ke segmen korporat. Krisis 2008, dampaknya lebih besar di Amerika Serikat. Di sini memang terasa ada kegalauan pasar, transmisinya pada kasus Bank Century, yang dikhawatirkan akan memberikan efek domino ke bank lain. Nah, kalau krisis sekarang skalanya besar sekali karena berdampak ke semua segmen. Isu utama saat ini bukanlah ekonomi melainkan kesehatan.
Menghadapi kondisi krisis akibat pandemi ini, saya selalu berpesan kepada teman-teman bahwa fokus pertama adalah mencari selamat. Yang penting, selamat saja dulu agar tidak mati. Bagaimana caranya? Dengan cara apa pun. At any cost. Ambil tabungan, efisiensi, jual aset, jual rugi, dll.
Di BPR Lestari, saya mengadakan stress test selama 24 bulan, anggap situasi ini akan berlangsung sampai 24 bulan ke depan. Saya menekankan kepada karyawan saat ini sebagai survival mode. Artinya, aspek profit ditaruh di nomor kesekian. Yang penting, bisa selamat melewati ini, dan menjaga likuiditas.
Jika sudah merasa bisa selamat, lalu what’s next? Lakukan apa yang mungkin bisa dikerjakan di tengah pandemi ini. Menurut saya, yang paling relevan dengan kondisi ini adalah inisiatif-inisiatif digital. Di BPR Lestari, kebetulan kami sudah meluncurkan Lestari 2.0, elelctronic banking dengan mobile banking. Inisiatif digital kami bertambah banyak sejak ada pandemi. Semua jenis bisnis bisa mengambil model yang sama seperti ini. Kalau memang tidak ada yang bisa dikerjakan, ya sudah, tidak apa-apa, istirahat saja. Nanti kalau sudah bisa kerja lagi, baru mulai lagi. Yang penting, selamat dulu.
Intinya, jangan mati dulu, karena nanti ekonomi akan rebound. Menurut saya, akan terbentuk kurva V. Artinya, begitu isu kesehatan bisa teratasi, ekonomi kita akan tumbuh dengan cepat. Karena, kalau krisis ekonomi yang disebabkan oleh economic reasons, sifatnya landai, jatuhnya pelan-pelan dan naiknya juga perlahan. Sementara kali ini isunya adalah kesehatan. Turunnya drastis, tetapi nanti naiknya juga drastis.
Khusus pada sektor perbankan, ada dua isu utama, yaitu profitabilitas dan likuiditas. Dua hal ini berbeda dalam penanganannya. Profitabilitas seharusnya tidak ada masalah saat ini, karena kredit macet bisa direstrukturisasi. Memang bank akan berkurang profitnya. Tetapi, tidak masalah. Ketakutan masyarakat karena pandemi Covid-19 adalah kredit di perbankan akan macet. Ini harus diterangkan bahwa kredit tidak akan macet karena bisa direstrukturisasi.
Lalu, likuiditas perbankan sekarang terlihat cukup baik, karena sedikit sekali kredit yang dikucurkan di kondisi ini. Likuditas tetap aman selama tidak ada kegalauan yang membuat penarikan besar-besaran dana nasabah di bank. Masyarakat bertanya tentang keamanan uangnya di bank sebenarnya karena mereka dihantui persepsi mengenai meledaknya kredit macet. Terapi, tidak akan ada kredit macet sampai tahun depan. Masalahnya, likuiditasnya tidak merata. Terkonsentrasi di bank-bank BUKU 4. Ada bank-bank kecil yang kering atau likuiditasnya terbatas. Menurut saya, ini terkait regulasi.
Sebagai pengusaha, kita harus mulai sadar bahwa krisis ini bukan yang terakhir, selanjutnya akan ada lagi dalam berbagai bentuknya. Maka, saya menyodorkan sebuah konsep: Tumbuhlah yang Disiplin. Artinya, ketika usaha sedang tumbuh, misalnya kalau di bank sedang asyik-asyiknya menyodorkan kredit, jangan lupa untuk menahan diri sedikit. Bersiaga terhadap perubahan cuaca yang mendadak. Pengusaha itu ketika bisnisnya lagi maju, selalu inginnya memacu sekencang-kencangnya, sering terbuai, lupa bahwa sewaktu-waktu kondisi bisa berubah.
Maka, agar tumbuh yang disiplin, pebisnis harus menerapkan tiga hal, yaitu (1) Jangan terlalu banyak utang, (2) Jangan masuk ke area-area yang tidak ahli, dan (3) Harus membangun cash reserve (persediaan uang tunai). Mengapa harus memiliki persediaan uang tunai? Agar kalau terjadi krisis lagi, tetap punya cash. Karena dalam kondisi krisis seperti ini, cash is the king. Caranya, misal setiap tahun mengalokasikan Rp 300 juta. Dikira-kira saja, andai tidak ada income, uang tunai ini bisa mencukupi rumah tangga.
Di sisi lain, ketika banyak orang menganggap semua sektor terpukul, ternyata ada juga sektor usaha yang justru meningkat di tengah pandemi. Kalau menurut data saya di Bali, mungkin sekitar 80% nasabah saya yang terdampak krisis akibat pandemi. Sementara 20% menikmati kenaikan omset yang luar biasa. Dari 80% yang terdampak, sebesar 50%-nya memiliki cash reserve yang memadai. Jadi, mereka tidak kesulitan membayar bunga karena memiliki uang tunai. (*)
Yosa Maulana
Sejak pandemi, kita jadi mulai membatasi aktivitas kita untuk beraktivitas ke luar rumah. Hampir semua hal yang biasanya mengharuskan kita untuk keluar, kita lakukan dari rumah saja, secara online.... Selengkapnya
Setiap tahunnya, kebutuhan pendidikan anak selalu jadi salah satu kebutuhan yang esensial dengan nominal yang tentunya tidak sedikit. Oleh karena itu, Anda perlu mempersiapkan dana pendidikan anak... Selengkapnya
Bicara soal bisnis, setiap pelakunya pasti memiliki impian dan alasannya masing-masing. Ada yang ingin bekerja dengan bebas, ada yang ingin cepat kaya melalui bisnis, ada juga yang menyalurkan... Selengkapnya